Home

Rabu, 10 April 2013

[FanFict] Kimi ni Au Tabi Koi o Suru’, Jatuh Cinta Setiap Bertemu Denganmu (Inspired by JKT48 Song)


Terinspirasi dari lagu JKT48 di RKJ bertemakan Reunian, Kimi ni Au Tabi Koi o Suru’. Semua kisah di cerita ini bersifat fiktif. :)
Di reuni itu… setelah sekian lama… kau duduk di sebelahku….
Icak duduk bersila di balkon depan kamar kostnya. Sambil menatap langit biru, Icak membayangkan langit yang ditatapnya sangat mendung. Padahal Jakarta sedang dalam kondisi cerah. Bahkan BMKG meramalkan suhu udara di Jakarta akan mencapai 30 derajat celcius hari ini.
[soundcloud url="http://api.soundcloud.com/tracks/78523210" params="" width=" 100%" height="166" iframe="true" /]
Mata Icak beralih ke kabel-kabel listrik yang berhamburan di tiang listrik. Kabel-kabel berhamburan tak beraturan. Mungkin pegawai PLN regional jakarta sudah frustasi mengatur arus kabel, saking banyaknya pencuri listrik yang menautkan kabel di tiang-tiang listrik. “Bel….kamu itu jadi wujud perasaan hatiku sekarang. Semrawut ndak karuan.” Ucap Icak. Lalu kembali dia memainkan gitarnya dan menyanyi lagu yang sama.
 Dua kali jatuh cinta di lubuk hatiku yang dalam…
Jemari tangan kanan Icak masih memetik senar gitar tak beraturan. Jari tangan kirinya pun begitu. Tak ada yang sempurna dari kunci-kunci gitar yang dimainkannya. Kunci C menjadi berbunyi A minor. Kunci G berubah menyerupai F minor. Kunci E menjadi D minor. Saat hati sedang mendung, perasaan sedang semrawut, semuanya dirubah menjadi minor.
Mata Icak kembali menerawang ke langit biru yang dianggapnya sedang mendung.
“Kowe iki…kok malah balek maneh ning atiku…” Gerutu Icak sambil menyeruput kopi hitamnya yang telah mendingin. Angin yang sesekali berhembus melewati balkon kosan Icak meniup di sela-sela rambutnya yang sudah beranjak tumbuh dan berkembang menjadi rambut yang gondrong.
Icak kembali menerawang. Awan di langit biru yang ada di hadapannya seperti membentuk lambang hati yang sedang ditusuk oleh anak panah. Namun anak panah itu loyo, sehingga lambang cinta itu tidak sempat tertembus.

Delapan Tahun lalu…
Pesta kelulusan sebuah sekolah menengah pertama di sebuah kota kecil di pelosok jawa tengah sedang berlangsung. Suasana es campur berisi haru bahagia menjadi satu. Icak ada di salah satu pesta kelulusan itu. Pesta yang sederhana, sama seperti pesta-pesta kelulusan di sekolah negeri kebanyakan di daerah jawa tengah waktu itu. Ada panggung, dihadiri siswa kelas tiga, dihadiri guru sekolah, dan dihadiri orang tua murid. Beberapa penampilan seni yang ada di sekolah kadang menyelingi sambutan-sambutan yang disampaikan oleh kepala sekolah, ketua OSIS, dan perwakilan lulusan.
Icak duduk di salah satu bangku deretan siswa kelas tiga. Dia berada di baris terdepan, menandakan bahwa dia menjadi salah satu siswa yang meraih nilai tertinggi dalam ujian nasional. Rambutnya cepak, pakaiannya rapih, ala anak rumahan yang memang layak mendapatkan juara di sekolahnya.
Di tengah acara kelulusan, ponsel Icak bergetar:
“Selamat ya mas. Semoga makin sukses. Shafira”
Icak tersenyum simpul membaca sms yang baru saja diterimanya. Bergegas, dia mencoba merangkai kata untuk membalasnya. Menit pertama, dia berhasil menulis dua kata,”Matur nuwun”.
“Ih! Ndeso banget. Masa iya nulis sms ke cewek cantik bilangnya cuma matur nuwun.” Gerutu Icak pada dirinya sendiri. Lalu dia menghapus kata-kata yang ada di dalam teks smsnya. Kembali icak berpikir ulang untuk menulis sms untuk Shafira. “Makasih ya dek. I Love You!” tulis Icak setelah beberapa menit berpikir ulang untuk menulis sms balasan.
“Ah…ndeso juga. Masa belum pacaran udah bilang I love you.” Pikir Icak kembali setelah beberapa saat membaca kembali tulisan yang ada di teks smsnya.
Menit demi menit kembali berlalu. Icak akhirnya memutuskan hanya menulis dua karakter, yang dianggapnya lebih penuh makna dan bikin penasaran orang yang membaca. “:)” . Hampir setengah jam Icak berpikir sms balasan, dua karakter itu yang berhasil dicurahkannya. Senyum yang penuh makna.
“Bismillahirrohmanirrohim…” Ucap Icak dalam hati sebelum mengirimkan sms yang baru ditulisnya. Kini dalam layar ponselnya muncul gambar “Please wait… Sending Process”.
Lima menit berlalu. Layar ponsel Icak masih menampilkan gambar yang sama,”Please wait… Sending Process”.
Icak sudah hilang kesabaran. Dibatalkannya pengiriman sms untuk Sahifa tadi. Dicoba dia ketik *555# untuk mengecek pulsa.
“Sontoloyo! Pulsa habis.” Sumpah serapah Icak menyumpahi jumlah angka yang tertera dalam layar ponselnya Rp 30. Padahal waktu itu dia harus punya minimal Rp 350 untuk bisa mengirim satu sms.
Belum habis Icak menyumpahi jumlah pulsa yang ada di dalam ponselnya, suara microphone memanggil-manggil namanya.
“Peraih nilai tertinggi Ujian Nasional tahun ini adalah… Mizahk Robertadores! Dari kelas 3 B! Selamat” Suara dari microphone menggaung ke seluruh penjuru aula sekolah. Iringan tepuk tangan menggaung dari semua hadirin yang ada. Dan Icak yang masih galau dengan nilai pulsa yang ada di ponselnya tak sadar dengan hal itu.
“Woy Cak! Itu kowe dipanggil suruh maju ke atas panggung.” Beni yang duduk di belakangnya menoyor kepala Icak.
“Hah?” Icak belum tersadar. Pikirannya masih fokus pada bagaimana pulsa sebesar Rp 30 bisa mengirim satu sms.
“Itu! Kowe dapet nilai tertinggi! Sana maju ke panggung. Salaman sama kepala sekolah.” Teriak Beny, yang memang teman dekat Icak.
“Oh…iyo iyo. Aku tak maju dulu. Ini nitip tas sama Hpku ya.” Kata Icak lalu beranjak dari bangkunya. Dia tersenyum kosong. Senyumnya sudah dicurahkan untuk emot yang ada di teks sms. Namun gagal dikirim olehnya.
Suara tukang roti keliling dengan pengeras suara membangunkan lamunan Icak. Lorong waktunya kembali dari jaman kelulusan SMP waktu itu ke balkon kostnya. 
“Sudah delapan tahun…” Ucap Icak.
Coba waktu itu aku bisa kirim sms ke kamu. Sayang aku lagi kere. Duit hadiah kelulusan sekolah baru aku terima pas upacara pelepasan.
Icak kembali berbicara dalam hatinya. Menatap langit biru yang mendung di matanya.  Dia menyesali cintanya yang tak nyambung sampai sekarang. Selepas lulus SMP, dia tak bisa menghubungi sahifa lagi. Dia mencoba menelepon berkali-kali, namun tak diangkat. Dia mencoba sms, tak ada balasan satu pun. Bahkan seminggu kemudian, nomor ponsel Sahifa sudah tidak aktif lagi.
“Sayang ndhuk…aku nggak sempet bilang cinta ke kamu. Padahal cintaku delapan tahun lalu sama sampe sekarang.” Kata Icak pada bayang Sahifa.
Dua hari lalu
“Woy Cak! Ada anak kijang ketangkep di polsek Tanah Abang! Lo mau merapat ke sana nggak?” Teriak seorang pria berjaket jeans dengan tergesa-gesa menenteng tas kecil setelah dia menerima bbm dari seorang narasumber di kepolisian.
“Ada apa emang bang?” Tanya Icak yang saat itu sedang menikmati secangkir kopi hitam di warung langganannya sejak pertama kali dia ditempatkan sebagai wartawan kriminal. Warung kopi langganan Icak memang bukan warung kopi biasa. Kadang di warung kopi yang bersebelahan dengan polsek Palmerah itu, Icak mendapatkan banyak sumber isu kriminal yang bisa menjadi bahan liputannya sebagai wartawan. Bahkan, Icak juga mendapatkan banyak sandi-sandi rahasia dari warung kopi itu. Seperti Anak Kijang yang berarti maling atau copet, Taruna berarti berita baru, bandeng berarti mayat.
“Bentar bang! Ikut gue! Motor lagi diservis. Gue nebeng elu ya!!” Balas Icak kepada bang Barli, wartawan senior yang sering nongkrong di tempat yang sama dengan Icak. Sama-sama wartawan, satu wilayah, tapi beda media. Bang Barli adalah wartawan sebuah koran di Jakarta, sedangkan Icak adalah wartawan situs online.
***
Beberapa menit kemudian, setelah Icak membonceng Bang Barli menyelusupkan motor menembus di kemacetan jakarta, akhirnya Posek Tanah Abang sudah di depan mata. Tak ada hal yang mencolok di halaman depan. Kasus pencurian memang setiap hari selalu ada di Jakarta. Jadi berita yang akan diangkat oleh Icak dan Bang Barli bukan berita yang bakal akan menjadi headline di medianya masing-masing. Namun, setidaknya berita kemalingan bisa menghias di rubrik breaking news, atau setidaknya meenjadi berita cadangan ketika dalam sehari tidak ada berita besar yang bisa didapat sama sekali.
Di Polsek Tanah Abang, sudah ada beberapa wartawan yang menanti narasumber utamanya. Minimal, mereka bisa mendapatkan statement dari Kapolsek, atau setidaknya Kasat Reskrim yang ada di polsek itu. Icak dan Barli pun menelusup, pemanasan mencari info yang sedang beredar.
“Anak Kijang apa bang?” Tanya Icak begitu sampai di kerumunan beberapa wartawan di depan ruang kapolsek.
“Wah…nggak tau. Gua aja baru dapet broadcast dari anak metro. Katanya sih copet pasar.” Ucap wartawan yang mengalungkan kartu tanda pengenal bernama Aldo.
“Kok tumben copet pasar bisa kena?” Tanya Icak penasaran.
“Katanya sih yang mau dicopet itu guru karate. Lagian dia nyopet nggak liat-liat casing.” Canda Aldo.
“Katanya Cakep Cak! Anak daerah elu juga yang dicopet!” Sahut seorang wartawan lain yang sedang mengebulkan asap rokoknya.
“Heh? Daerah gue? Maksudnya? Anak Polsek?” Tanya Icak.
“Bukan…dia kayaknya sekampung sama elu. Daerah Klaten.” Jawabnya.
Belum sempat Icak membalas ucapan wartawan tadi, pintu ruangan kapolsek tanah abang terbuka. Dua orang pria keluar dari ruangan tersebut. Bagai tak mau kehilangan mangsa, beberapa wartawan yang tadinya terpencar berkerumun mengerubungi dua orang tadi yang salah satunya adalah kapolsek.
Berondongan pertanyaan sejenis “Gimana kronologisnya Ndan?” “Tsknya diamanin gimana ndan?” “Korbannya bisa diwawancara nggak ndan?” mulai membanjiri kapolsek. Beberapa microphone dan alat perekam lainnya pun mulai mendekat ke bibir kapolsek yang dengan tenang menjawab satu per satu pertanyaan wartawan.
“Jadi, TSK mencopet seorang wanita muda. TSK bisa diamankan karena korban yang dicopet bisa bela diri. Jadinya sebelum sempat lari, korban bisa melumpuhkan TSK dibantu sama warga sekitar.” Ucap Kapolsek.
“Korban sekarang posisi dimana ndan?” Tanya seorang wartawan. Icak hanya menyimak saja. Dia sibuk mencatat beberapa keterangan yang nantinya akan dikirimkan ke redaksi.
“Korban sudah boleh pulang. Tadi sempat dimintai keterangan. “ Ucap Kapolsek.
“Cak, lu mau ngikut gue lagi nggak?” Bang Barli mendekat ke arah icak dan berbisik.
“Lah? Kemana? Ini belom kelar gue.” Jawab Icak sambil masih menulis draf berita.
“Masih sama kasusnya. Gue baru dapet info saksinya masih di luar polsek. Ayo buruan kalo mau. Ini biar aja. Kan udah dapet quote dari kapolsek.” Ucap Barli.
“Okelah. Siapa tau gue bisa ngembangin judul “Guru Karate Lumpuhkan Copet”. Hhahahaha…” Canda Icak sambil mengikuti Barli menuju halaman depan polsek.
“Yang mana bang?” Tanya Icak begitu sampai halaman depan gedung polsek.
“Bentar!” Barli menekan nomor telpon dari ponselnya. Tak berapa lama, dia berbincang dengan seseorang. “Yok! Dia lagi di parkiran.” Bergegas Barli menuju parkiran polsek diikuti langkah Icak.
“Mbak Sahifa?” Panggil Barli pada seorang perempuan ketika sampai di parkiran.
Deg
Hati Icak langsung kalut seketika mendengar nama yang disebut oleh teman seprofesinya. Hatinya semakin kalut ketika dia melihat wanita yang menjadi korban pencopetan tadi adalah seseorang yang amat dikenalnya. Bahkan masih melekat di benaknya, wajah yang terakhir ditemuinya delapan tahun lalu.
“Sahifa?” lidah icak kelu. Hatinya kaku. Otaknya tak bisa berpikir. Seketika sarafnya seperti lumpuh. Matanya buram menatap sosok wanita yang ada di hadapannya sekarang. Wanita berambut panjang, putih kearaban, berhidung mancung. Dia lebih dewasa ketimbang anak SMP yang waktu itu hanya peserta ekstrakurikuler Karate bersabuk putih.
Sosok bernama Sahifa dengan tenang menatap dua orang yang menghampirinya. Dua wartawan kriminal yang mencoba menggali keterangan dari seorang narasumber. Namun tampaknya Icak mengalami penurunan agresivitas begitu dia menyadari kalau hatinya bergetar, seperti getaran vibrator ponsel yang digenggamnya. Hatinya kelu melihat sosok yang hilang dalam hidupnya, namun masih kekal di dalam hatinya. FAK! INI LAMA-LAMA KOK TULISAN JADI KAYAK NOVEL ABG GAGAL EDIT L.
Wawancara berlangsung hambar. Penuh kekakuan. Dan Icak hanya bisa diam seribu bahasa. Dia tau kalau Sahifa masih mengenalnya, walau kini dia sudah berubah. Tampang rapih menjadi lusuh, rambut klimis waktu itu sudah berubah menjadi rambut keriting gerondong.
“Cak! Lo mau tanya lagi nggak?” Tanya Barli sudah capek memberondong beberapa pertanyaan kepada Sahifa.
Icak masih terdiam. Melamun. Menatap bola mata Sahifa.
“Woy Cak!” Barli tak sabar hingga dia menepuk punggung Icak.
“Eh iya… mbak Sahifa apa kabar?” Icak terbangun dari lamunannya.
“Hahahaha….kamu nggak berubah ya dari dulu, Mas!” Sahifa tersenyum. Terpecah sudah sedari tadi dia menahan celetukannya, celetukan akan keyakinannya bahwa wartawan yang mewawancarainya ini salah satunya adalah Icak. Kakak kelasnya jaman SMP.
“Lah? Lu kenal sama narasumbernya?” Barli terheran.
“Hehehe….” Icak meringis. Barli masih terheran. Terheran dengan teman satu liputannya. Namun demikian, Barli tak ambil pikir. Banyak deadline yang harus dikejarnya.
“Kalo lu mau nanya-nanya lagi, gue tinggal dulu ya Cak!” Ucap Barli.
“Iya.” Jawab Icak singkat, lalu menatap Sahifa.
“Apa kabar kamu?” Kemudian kisah berubah layaknya adegan dua orang anak muda usia duapuluh dua tahunan yang sudah tidak lama bertemu, kemudian dipertemukan di tempat yang tak terduga. Adegan mirip FTV yang editornya sudah malas untuk menulis cerita yang panjang.
“Alhamdulillah… Mas Icak sudah berubah ya penampilannya.” Kata Sahifa ramah. Tak terlihat bahwa dia adalah seorang guru karate yang baru melumpuhkan seorang copet.
“”Hehehe….aku memang sudah berubah. Tapi perasaanku ke kamu nggak berubah kok.” Icak meringis. Di hatinya kini berharap bahwa kesempatan kedua akan datang. Dia yakin Sahifa juga masih mengharapkannya.
“Wah…” Sahifa tersenyum simpul. Pipinya merah merona.
“Mas, kapan-kapan kamu main dong ke rumah aku. Sekarang aku juga sudah jadi orang Jakarta lho! Kebetulan suamiku penempatan di Jakarta.” Lanjut Sahifa.
Deg! Hati icak runtuh.
***
Icak kembali terbangun dari lamunannya. Lagu kembali dia lantunkan.
Dua kali jatuh cinta
di lubuk hatiku yang dalam
Waktu tertidur pun membuka mata
AH~
Ketika engkau tersenyum
Hatiku menjadi sakit
Ku tak mampu berkata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar