Home

Rabu, 10 April 2013

[Fanfict] Jibun no Pride (Kebanggan Diri)


Duduk terdiam di sudut ruangan kelas, mencoba memahami materi yang diberikan oleh Pak guru sambil sesekali mencuri pandang ke arah luar jendela, menatap langit luas. Lamunannya terhenti ketika Pak guru menunjuknya.
“Yak, Mei! Coba kamu selesaikan soal di papan tulis.” pinta beliau sambil mempersiapkan catatan untuk materi berikutnya.
Bukan hal yang sulit bagi gadis berusia 17 tahun itu untuk menyelesaikannya. Sebagai pemegang peringkat dua di sekolah, tentu dia sudah biasa menyelesaikan soal macam ini. Terlebih ini mata pelajaran Matematika yang menjadi kelebihannya.
“Sudah selesai Pak,” ucapnya lembut dengan senyum menghias wajahnya.
“Apa ada yang salah Pak?”
“Tidak, seperti biasa yang kau kerjakan sudah benar. Silahkan kembali ke tempat dudukmu, terima kasih.” pujian sang guru disambut riuh kecil seisi kelas yang berbisik tentang betapa pintarnya Mei.
Mei berjalan menuju kursinya, tampak menghiraukan semua bisikan seisi kelas. Situasi seperti ini sudah bukan hal baru baginya, Mei duduk di kursinya dan kembali memperhatikan materi yang diberikan hingga akhirnya bel sekolah berbunyi menandakan usainya pelajaran di hari itu. Pak guru meninggalkan kelas setelah para murid memberikan salam.
-oOo-
Seisi kelas kembali ramai, jauh lebih ramai dari sebelumnya ketika mereka memuji Mei. Tapi kali ini bukan Mei yang menjadi pembicaraan, melainkan sebuah Idol Group yang memang sedang berada di puncaknya, AKB48.
“Yukirin tampak sangat bersinar di show semalam! Nggak nyesel deh ke theater mereka.” ucap seorang murid pria di kelas.
“HOAA! Kau semalam ke theater mereka?”, teriak murid pria lain di sebelahnya.
“Kapan ya giliranku bisa kesana?”, sahut yang lain.
“Ketika kau sudah tidak bermasalah dengan nilaimu!”, kali ini satu murid perempuan yang ikut masuk dalam perbincangan, dengan sedikit meledek.
Sementara di sudut ruang kelas lainnya, murid lain juga ramai membicarakan Idol Group ini. Mulai dari lagu-lagu mereka, kostum yang dikenakan, acara TV dimana mereka tampil, sampai gosip tentang membernya pun tak luput dari perbincangan.
Nampaknya hanya satu meja yang tidak dapat merasakan euforia seisi kelas pada saat itu. Ya, Mei lebih memilih untuk segera pulang ke rumahnya dan meninggalkan ruangan kelas beserta segala keriuhannya.
Namun ternyata perbincangan tentang Idol Group yang satu ini tidak terhenti begitu saja di ruang kelasnya. Dalam perjalanan pulang pun Mei masih bisa mendengar kata ‘AKB48’ dari tiap orang yang dilaluinya.
“AKB, AKB, AKB, dimana-mana AKB! Apa di kepala mereka cuma ada AKB?” gerutu Mei pelan.
“Apa mereka tidak punya kehidupan? Membuang waktu hanya untuk menyaksikan gadis-gadis itu menari, Bodoh!”
-oOo-
Jari lentiknya menari di atas keyboard, sambil sesekali membetulkan posisi kacamatanya yang sedikit turun, matanya fokus melihat layar monitor di hadapannya. Sudah hampir dua bulan terakhir Mei menghabiskan kegiatan sore harinya di depan komputer atau laptop miliknya, mengobrol bersama dua orang teman maya dengan nama akun Mikki dan Mimi.
Berawal dari sebuah diskusi terbuka di satu forum, mereka mulai saling mengenal. Dan sejak pertama berkenalan, ketiganya selalu menyempatkan diri untuk saling menyapa, biarpun hanya mengucapakan satu baris kalimat ‘selamat sore’.
“Haha.. rasanya di zaman sekarang susah menemukan orang dengan kebanggaan tinggi akan apa yang ia kerjakan.” Mei melanjutkan obrolan dengan kedua teman mayanya.
Selang beberapa menit Mei mendapat balasan dari Mikki.
“Sekarang apapun yang dikerjakan banyak dipertanyakan juga sih ._.”
“Dan nggak jarang juga akhirnya orang itu jadi ikut mempertanyakan dirinya sendiri.” Mei memperjelas obrolan temannya itu.
“Muncul kebimbangan gitu ya? hahaha..” kali ini Mimi yang membalas singkat.
“Ya, dan karena nggak yakin apa yang dikerjakan, jadinya kebanggaan mereka pun perlahan mulai ikut hilang,” Mei menyetujui kesimpulan yang diambil temannya.
“Kecuali kalau dari awal memang nggak ada yang patut dibanggakan sih xP”, lanjutnya.
“Hah, emang ada pekerjaan yang nggak punya satupun hal buat dibanggakan? OwO” tanya Mikki yang penasaran dalam obrolannya.
“Kalau aku pribadi sih sampai sekarang masih belum menemukan hal yang bisa dibanggakan di dunia Idol, meskipun saat ini mereka bertengger di puncak seperti AKB48.” ujar Mei menjawab pertanyaan temannya itu.
“Oh, AKB ya? Hmm..” lagi-lagi Mimi hanya memberikan balasan singkat.
“Loh, kenapa emangnya?” berbeda dengan Mimi, Mikki makin penasaran setelah mendapat balasan dari Mei.
“Apa karena kerja mereka yang hanya mencari penggemar?”, lanjutnya.
Dengan penuh keyakinan, Mei menjawab pertanyaan temannya sekaligus mencurahkan apa yang selama ini ia rasakan.
“Ya itu salah satunya sih, tapi yang paling tidak membanggakan menurutku adalah ketika mereka hanya tinggal menggunakan paras cantik dan tubuh indahnya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Menyebalkan bukan?”
“Menarik penggemar dengan fisiknya dan mendapat apa yang diinginkan dari para penggemarnya tadi ya? kedengarannya licik sekali ._.” ungkap Mikki.
“Tentu saja! Terlebih ketika banyak pihak lain harus bekerja sedemikian keras, dituntut untuk selalu berpikir demi mempertahankan posisinya agar tidak terdepak..”, balas Mei penuh semangat, seakan sudah tersulut habis sumbunya.
“Tapi apa benar begitu? Rasanya para member disana juga sudah bekerja keras..”, Kali ini Mimi sedikit mempertanyakan pendapat Mei. Namun belum sempat mendapat balasan dari pertanyaannya, Mimi mengirim chat lanjutan.
“Wah maaf Mei, Mikki, kayaknya aku harus off sekarang nih ._. Lanjut besok sore lagi ya, jaa!~”
“Bekerja keras? Yang mereka lakukan hanya bersenang-senang, menari kesana kemari, melenggokkan tubuhnya, dan hanya dengan itu mereka bisa meraih kesuksesan. Apanya yang kerja keras?” jawaban Mei lebih menjurud ke arah sinisme.
“Hey, Mei!” potong Mikki singkat.
Tebawa suasana, Mei tidak melihat chat dari kedua temannya barusan dan tetap melanjutkan ketikannya.
“Dengar-dengar juga ada satu ajang dimana fans bisa memilih anggota yang akan tampil di lagu berikutnya, tau bagaimana cara memilihnya? Dengan membeli CD lagu mereka!”
“Mei..”, Mikki masih berusaha memotong pembicaraan.
“Sungguh tidak adil! Yang sebenarnya mereka jual itu musiknya atau kupon untuk memberikan suaranya sih?”, Mei sendiri masih terlalu bersemangat untuk mencurahkan pikirannya.
“Mei Mei! =w=”, Mikki nampak mulai sedikit kesal.
Masih tidak menghiraukan panggilan Mikki, Mei terus mengetik.
“Sedangkan musisi lain? Yang benar bermain musik dengan hatinya dan mendedikasikan hidupnya untuk bermusik? Harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa mengalahkan Idol Group ini.”
Kesal, Mikki memutuskan untuk mulai spamming, “Mei!”
“Mei!”, Mikki mengulang chatnya.
“Mei!”, sekali lagi Mikki mengulangi chatnya.
Dan terus berlanjut sampai akhirnya Mei membalas.
“Eh, kenapa Mikki? OwO”
“Daritadi dipanggil ya =.=”, ujar Mikki singkat.
“Ah, maaf maaf.. jadi kebawa suasana begini sampai ga ngeliat chat kamu. Maaf ya >w<”, balas Mei yang merasa bersalah.
“Pasti kamu juga nggak tau Mimi off, ya kan? =w=”, tebak Mikki dalam chatnya.
Seketika Mei melihat lingkaran kecil di dekat gambar profil Mimi yang telah berganti warna menjadi merah dari sebelumnya yang berwarna hijau, pertanda saat ini Mimi memang sudah offline.
“………..sejak kapan dia off? ._.”, tanya Mei.
“Benar kan.. =w=”, Mikki membalas singkat.
“Kaya biasa, ketika udah kebawa suasana pasti Mei begini. Chat kita nggak diperhatiin =w=”, lanjutnya.
Mungkin faktor dirinya yang jarang menyuarakan apa yang dipikirkan membuat Mei sangat bersemangat ketika sudah terbawa suasana saat mengobrol dengan kedua teman mayanya.
“Maaf maaf ._.”, Mei kembali meminta maaf.
Percakapan berlanjut antara Mei dan Mikki selama hampir setengah jam, hingga akhirnya Mei juga harus mengakhiri percakapannya karena ia harus mempelajari materi untuk sekolahnya esok hari.
“Ngomong-ngomong besok lusa jadi kan? Nggak sabar mau ketemu kalian nih..”, lanjut Mei mengingatkan rencana pertemuan mereka bertiga.
Cukup lama waktu yang dibutuhkan Mikki untuk hanya membalas.
“Hmmm…”, hanya kata tersebut yang muncul hingga ia mengirimkan chat lanjutan selang beberapa menit kemudian.
“Ya, akan kuusahakan. Aku juga ingin mengobrol langsung denganmu dan Mimi :3”
“Yeaay!~ Senaang! Baiklah, sampai jumpa besok lusa ya. Selamat sore~~ :3”, Mei menutup obrolan mereka berdua yang sudah berlangsung selama hampir satu setengah jam lamanya.
-oOo-
Bel sekolah kembali berbunyi, saat yang mungkin paling ditunggu oleh sebagian besar murid telah tiba, pulang sekolah. Namun hari itu alih-alih keceriaan atau kelegaan seusai menerima pelajaran, seisi kelas lebih didominasi oleh aura ketegangan.
Berawal ketika jam istirahat makan siang, seorang murid pria dengan terengah-engah masuk dan menggebrak bagian dalam pintu kelas.
“Lihat apa yang kutemukan!”, ucapnya.
Nampak pemberitaan mengenai salah satu member AKB48, Minegishi Minami atau biasa dipanggil Miichan oleh para fansnya yang diberitakan bermalam di rumah seorang pria.
Ketegangan yang muncul seketika tertahan saat bel sekolah berbunyi, menandakan usainya jam istirahat makan siang yang disertai masuknya guru beberapa saat kemudian. Namun saat ini, ketika jam sekolah sudah berakhir, ketegangan kembali menyeruak.
“Ah!  Ada video permintaan maaf Miichan!”, ucap seorang gadis berambut panjang yang langsung menyalakan laptopnya untuk mencari informasi.
Berbondong-bondong murid lainnya bergerak menuju meja gadis tersebut, berharap dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Selain beberapa murid yang langsung pulang ke rumah atau pergi ke ruang klub, hanya ada Mei yang masih berkutat dengan latihan yang diberikan oleh Pak guru tadi.
“Lagi-lagi AKB, nggak punya kehidupan lain apa?”, gerutu Mei pelan.
Mei menghentikan tangannya menulis ketika ia mulai mendengar keributan, teriakan dari orang yang bergerombol melihat video permintaan maaf Miichan. Menatap sinis gerombolan tersebut untuk kemudian memendam kembali kekesalannya. Ia nampak seperti orang yang berbeda dibandingkan ketika ia chatting dengan Mikki.
Betapa kagetnya mereka ketika melihat Miichan tampil di video itu, tanpa rambut panjang yang menghias kepalanya.
“Itu Miichan!?”, ucap seorang murid.
“Nggak mungkin! Miichan, kenapa sampai begini?”, lanjut murid lainnya.
“Ada apa sebenarnya?Miichan…”, komentar mereka yang melihat video tersebut mulai bersahutan antara yang satu dengan lainnya.
“MEDIA GOSIP SIALAN!”, teriakan keras disambut gebrakan meja mengagetkan seisi kelas, tidak terkecuali Mei.
Murid pria yang saat istirahat tadi membawa potongan artikel kedalam kelas tidak dapat membendung kesedihan dan amarahnya. Mengeluarkan kata cacian ditengah air mata yang mengucur deras di kedua pipinya, sambil sesekali menggebrak meja.
Seisi kelas terdiam, hanya terdengar suara gebrakan meja, makian kasar si murid pria, dan suara Miichan dari video menyedihkan tersebut yang terus berulang.
“Diam.. Diam.. Diam..”, Mei kembali berbicara pelan, berusaha untuk tetap menahan kekesalannya.
Bukan kesal kepada media gosip, atau bahkan pada Miichan. Tapi pada mereka yang bergerombol mengeluarkan komentar riuh, menggebrak meja, dan menangis melihat video itu.
Tak kuasa menahan kekesalannya Mei pun menggebrak meja dan berteriak.
“DIAMLAH KALIAN!”, persis seperti apa yang dilakukan murid pria tadi.
“APA GUNANYA MENANGISI ORANG YANG BAHKAN TIDAK MENGENAL KALIAN!?”
Perhatian seisi kelas kali ini tertuju pada sosok seorang gadis berkacamata dengan rambut ponytail-nya yang berdiri di sudut lain ruang kelas. Gadis cerdas yang sangat jarang menyuarakan pikirannya, setidaknya sampai hari ini.
Kaget, tidak percaya, bingung, mungkin gabungan dari berbagai perasaan itu yang saat ini tengah menari di dalam benak murid-murid lainnya. Skandal Miichan yang cukup besar sampai membuatnya mencukur habis rambutnya, ditambah Mei yang biasanya hanya duduk diam kali ini sampai berteriak pada mereka.
Keheningan yang terjadi sesaat setelah Mei berteriak pecah ketika lagi-lagi murid pria yang membuat Mei kesal balas berteriak.
“KAU YANG DIAM! TAU APA KAU TENTANG MIICHAN!?”
Diluar dugaan teriakan dari murid pria tersebut seakan menyulut murid lainnya untuk melontarkan apa yang ada di pikiran mereka.
“YA! KAU TIDAK PUNYA HAK UNTUK MENYURUH KAMI DIAM!”, ujar murid lainnya.
“Orang yang kerjanya hanya menatap buku catatan, tidak mengenal dunia luar sebaiknya diam!”, berbagai komentar keras mulai keluar dari gerombolan murid tadi.
“Atau jangan-jangan, kau hanya iri karena Miichan banyak mendapat perhatian. Tidak sepertimu!”, kali ini seorang murid perempuan yang angkat bicara.
Mei terdiam, baru kali ini ia mendapat perlakuan seperti itu. Dimaki langsung didepan mukanya sendiri, kakinya mulai gemetaran, takut.
“Tidak.. tidak.. jangan samakan aku dengan mereka..”, lirih Mei pelan.
Mei tidak menyangka, pertama kalinya ia mengungkapkan apa yang dirasakan malah membuatnya dimaki oleh seisi kelas. Air matanya menumpuk, siap untuk turun membasahi pipinya. Ditengah makian yang terus dilontarkan kepadanya, tanpa berkata apa-apa lagi Mei segera berlari keluar kelas, meninggalkan temannya yang belum berhenti memakinya. Ia terus berlari di koridor, menuruni tangga, melewati gerbang sekolah, tanpa memperhatikan sekitarnya.
-oOo-
Sudah satu jam lebih Mei mengurung diri di kamar sesampainya di rumah tadi. Dengan seragam sekolah yang masih lengkap melekat di tubuhnya, Mei membenamkan dirinya di kasur sambil memeluk erat guling kesayangannya. Setelah melirik ke arah jam dinding di kamar, Mei bergerak menuju meja komputernya. Saat inilah biasanya Mei mulai mengobrol dengan Mikki dan Mimi.
Mei yang diliputi perasaan tidak mengenakkan sebenarnya enggan untuk mengobrol dengan kedua teman mayanya, Mei tahu pasti kalau di tengah obrolannya nanti mereka akan membicarakan kasus yang dialami Miichan. Membahas skandal Miichan sekarang tentu bukan hal yang menyenangkan bagi Mei, terlebih mengingat perlakuan teman sekelasnya siang tadi.
Tidak ingin mengecewakan temannya, Mei akhirnya memutuskan untuk online meskipun dengan berat hati. Sambil berharap ia dapat menghindari topik mengenai Miichan.
“Akhirnya ada yang On, kemana saja kalian? ._.”, Mikki memulai pembicaraan.
Pandangan Mei langsung tertuju ke daftar kontak di bagian bawah kanan. Benar saja, hanya lingkaran Mikki yang berwarna hijau. “Kemana Mimi di saat seperti ini? Apa dia marah karena pembicaraan kita sebelumnya?” , tanya Mei dalam benaknya.
Namun pertanyaan Mei seketika sirna dan berganti rasa sakit yang kembali muncul ketika membaca chat yang baru dikirim Mikki.
“Hey Mei, apa kau sudah mendengar berita Miichan pagi tadi? Bagaimana menurutmu? ._.”, ujar Mikki.
Topik yang sangat ingin Mei hindari ternyata justru langsung muncul di awal pembicaraan. Mei tidak tahu harus menjawab apa, lebih tepatnya Mei tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Kembali teringat perlakuan teman sekelasnya tadi siang, terngiang kalimat-kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut mereka.
Duduk terdiam memandang layar monitor dihadapannya, layar yang menampilkan satu kalimat tanya dari Mikki. Tidak seperti biasa, kali ini bukan semangat yang terpacu untuk menjawab pertanyaan temannya, melainkan rasa sakit yang kembali mengiris dirinya.
Tak kuasa menahan pedih, air mata mulai mengalir membasahi pipinya yang memerah. Untuk kali ini Mei tak dapat menyembunyikan perasaannya. Tangannya mematikan layar monitor di hadapannya, mencoba mengabaikan pertanyaan temannya sekaligus berharap ia dapat melupakan semuanya.
“Maaf, Mikki.. Maaf..”, lirih Mei dalam isak tangisnya.
Tangisan yang makin keras, sampai titik dimana ia sudah tak bisa menyuarakan kepedihannya.
-oOo-
“Sebaiknya baju apa yang akan kukenakan ya?”, ucap Mei sambil melihat bayangan dirinya di cermin.
“Lagipula, rasanya aku tidak yakin Mikki akan datang hari ini..”.
Hari telah berganti, setelah semalam Mei tertidur di meja komputernya. Menurut orangtuanya mereka sudah mencoba membangunkan Mei, namun Mei masih tetap tertidur pulas sehingga mereka memutuskan untuk langsung memindahkannya ke tempat tidur. Dan sekarang adalah hari dimana Mei dan Mikki berjanji untuk saling bertemu.
“Ah sudahlah, aku pilih yang ini saja. Toh ini bukan kencan, buat apa aku harus bingung memilih baju?”, ujar Mei menetapkan pilihannya.
Perasaan tidak enak masih mengganjal hati Mei. Bukan hanya pada dirinya sendiri, melainkan juga untuk teman mayanya yang semalam ia abaikan.
“Semoga mereka berdua datang..”, harapnya tulus.
-oOo-
Jarum jam di pergelangan tangan Mei menunjukkan pukul 10.00, setengah jam telah berlalu dari waktu yang dijanjikan. Mei melihat sekitarnya, mencari seorang gadis yang mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan hiasan kuping kucing di atasnya.
“Jangan-jangan benar Mikki tidak akan datang? Apa dia masih marah karena semalam ya? Ahh, menyebalkan..”, ujarnya.
“Aku bukan orang yang suka melanggar janji kok,”, ucap seorang gadis yang tengah berdiri di belakang Mei.
Pakaiannya persis seperti yang baru saja ia cari, Hoodie abu-abu dengan hiasan kuping kucing di atasnya. Hanya saja ditambah masker hijau yang menutup wajahnya.
“Kau.. Mikki?”, ucap Mei menanyakan identitas gadis tersebut.
“Dan… masker?”
“Ya, aku Mikki! Belakangan badanku memang terasa kurang fit, dan aku nggak mau kamu nanti ketularan. Makannya aku pakai masker ini..”, jawab Mikki.
“Ah iya, aku juga tidak marah kok. Justru aku khawatir, apa terjadi sesuatu padamu Mei?”
Sedikit keraguan muncul di benak Mei setelah mendengar jawaban Mikki, “Apa benarMikki tidak marah? Semalam aku sudah mengabaikannya kan..”
“Ngomong-ngomong sebelum berangkat tadi aku mendapat pesan dari Mimi, katanya dia nggak bisa datang. Ada keperluan mendadak yang harus diselesaikan, katanya..”, lanjut Mikki dengan sedikit rasa jengkel.
Muncul sedikit rasa kecewa ketika Mei mendengar kalimat terakhir Mikki, meskipun sebenarnya bisa bertemu langsung dengan Mikki sudah sangat membuat Mei senang.
“Wah, padahal dia yang awalnya mengusulkan ketemu.”, ujar Mei juga dengan nada sedikit jengkel.
“Entahlah, aku juga ingin bertemu dengannya. Tapi kayaknya urusan hari ini memang cukup penting, coba lihat apa balasan yang kuterima berikutnya dari Mimi.”, Mikki menyodorkan telepon genggamnya, menunjukkan pesan singkat yang diterima setelahnya.
Hanya nampak satu kata singkat di layar telepon genggam Mikki, “Maaf…”.
“Maaf? Mimi meminta maaf? Ya.. sepertinya urusan kali ini cukup penting,”, ujar Mei sedikit bingung karena baru kali ini ia melihat Mimi meminta maaf.
“Ya sudahlah, bisa bertemu langsung dengan Mikki juga menyenangkan.”
Beragam hal menjadi topik pembicaraan kedua gadis tersebut, mulai dari makanan,fashion, sampai berita mengenai artis tidak luput dari pembicaraan. Beruntung untuk topik yang terakhir, Mei sebelumnya sudah membaca berbagai artikel tentang itu. Wajar, karena selama ini Mei sangat jarang mencari tahu hal tersebut.
Hingga akhirnya pembicaraan mereka mulai mengerucut ke Idol Group yang sebelumnya pernah mereka bahas via chatting, AKB48.
“Sebenarnya kemarin aku sudah menanyakan hal ini padamu Mei, tapi berhubung kau belum menjawabnya jadi akan ku tanyakan lagi sekarang. Kau sudah mendengar kasus skandal Miichan? Bagaimana menurutmu?”, tanya Mikki.
Bahasan inilah yang sebenarnya sampai saat ini paling ingin dihindari oleh Mei, karena memikirkan tentang skandal Miichan akan kembali mengingatkan Mei pada perlakuan teman sekelasnya, dan pada kejadian semalam tentunya. Namun kali ini Mei tidak mungkin mengabaikan sahabatnya lagi, Mei merespon pertanyaan Mikki.
“Menjengkelkan!”, jawab Mei singkat.
“Paling juga sama seperti artis lainnya, hanya untuk meningkatkan popularitas.”
“Hoo.. tapi kau juga tahu kan dia mencukur habis rambutnya? Apa pendapatmu?”, Mikki memberikan pertanyaan lanjutan.
“Justru disitulah menjengkelkannya, untuk apa dia sok mencukur habis rambutnya? Mencari simpati dari media untuk terus meliputnya? Atau simpati para penggemar agar ia mendapat tempat di pemilihan center berikutnya?”, tanpa disadari, lagi-lagi Mei langsung meluapkan pemikirannya.
“Membuang rambutnya, kebanggaannya sebagai perempuan hanya untuk hal macam ini. Rendah!”
Mikki tertunduk mendengar jawaban Mei barusan.
“Sebenarnya aku masih nggak mengerti apa yang membuatmu sebenci ini pada Miichan dan AKB48.”, ujarnya.
“Miichan.. karena dia.. kemarin aku dimaki oleh seisi kelas, dan itu menyakitkan.”, Mei berkata pelan.
“A- Apa maksudmu?”, Mikki bingung mencerna jawaban dari Mei.
Kali ini Mei tidak bisa membohongi perasaannya, ia tidak ingin mengingat kembali kejadian kemarin.
“Hey Mikki, ini sudah jam berapa? Bukankah kau seharusnya sudah pergi?”, Mei mencoba mengalihkan pembicaraan, meskipun hatinya masih enggan untuk menyudahi obrolannya dengan Mikki.
“Ah iya, kau benar,”, ucap Mikki setelah melihat jam tangannya.
“Sepertinya aku memang harus pergi sekarang.”
Mei melihat ke arah Mikki yang mulai bangkit dari tempat duduknya.
“Mikki, maaf..”, lirihnya.
“Haah.. sampai akhirpun aku nggak mendapat jawaban darimu Mei, kenapa kamu benci Miichan, kenapa kamu benci AKB..”, ucap Mikki sambil sedikit merapikan pakaiannya.
“Bahkan mengapa kau merasa tersakiti karena Miichan pun aku masih belum tahu.”
Mei hanya terdiam mendengar perkataan Mikki, “mengapa tiba-tiba Mikki membicarakan hal ini?” tanya Mei dalam batinnya.
“Apa kau masih ingat Mei, obrolan kita bertiga tentang kebanggaan dua hari yang lalu?”, tanya Mikki yang masih berdiri terdiam di posisinya.
“Eh?”, Mei bingung mendengar pertanyaan sederhana Mikki.
“Sebenarnya aku ingin menunjukkan bahwa ada beberapa poin yang salah di pendapatmu.”. ujar Mikki.
“Andai saat ini Mimi ada disini, mungkin dia juga akan mengoreksi pendapatmu.”
Mei yang masih bingung menjawab terbata.
“Ma-maksudnya?”
“Seorang idol, dibalik tarian maupun senyumnya, sudah banyak air mata yang mereka teteskan. Keringat yang mereka cucurkan, dan berbagai hal yang mereka korbankan,”, Mikki memandang jauh ke langit luas.
“Berbagai rintangan itulah yang membuat mereka bisa tersenyum begitu indahnya.”
“Aku tidak mengerti..”, balas Mei pelan.
“Mungkin fisik berpengaruh, tapi bukan itu yang terpenting. Para fans lebih banyak mendukung Idolnya karena tahu bagaimana perjuangan yang telah mereka lakukan untuk menggapai mimpinya.”, lanjut Mikki.
“Mi-Mikki.. Apa kalian juga salah satu fans mereka?”, Tanya Mei merespon ucapan Mikki.
“Fans? Hmm.. entahlah, tapi aku cinta AKB48. Dan rasanya Mimi juga begitu.”, Jawab Mikki dengan senyum mengembang dibalik masker yang ia kenakan.
Perasaan Mei seakan bercampur aduk mendengar jawaban Mikki. Mei tidak menyangka kalau ternyata teman mayanya Mikki, dan mungkin juga Mimi, tidak berbeda dari teman sekelasnya. Teman yang pernah melukai hatinya.
“Ah, ternyata kau juga sama seperti mereka ya?”, ujar Mei menahan kekesalannya.
Dengan penuh kepastian Mikki menjawab.
“Aku tidak tahu siapa yang kau maksud dengan mereka, tapi saat ini berkatmu aku masih berdiri disini. Berdiri sebagai orang yang sangat mencintai AKB48.”
“Mereka? Mereka.. mereka.. orang yang menyakitiku! Dan bagaimana bisa aku membuatmu makin cinta pada AKB, padahal disini aku sangat membenci mereka!”, Ucap Mei sedikit berteriak meluapkan kekesalannya.
“Untuk apapun yang mereka lakukan padamu, aku benar-benar meminta maaf.”, ujar Mikki yang masih membelakangi Mei.
Ditengah kebingungan yang berkumpul di kepala Mei, teringat kembali saat-saat mereka bertiga mengobrol bersama. Obrolan yang banyak mengundang tawa, banyak menceriakan hari-hari yang sebelumnya terasa kelam, dan tak jarang obrolan yang membuat air mata mereka mengalir.
Dan tepat disaat Mei mulai merasa menemukan sosok sahabat dalam hidupnya, ia harus menerima kenyataan bahwa orang yang saat ini ada di hadapannya ternyata juga merupakan satu dari gerombolan orang yang ia benci.
“Untuk apa kau meminta maaf? Itu kan-“, Mei tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena Mikki segera memotong.
“Waktu itu kau bilang kebanggaan seseorang perlahan mulai hilang ketika orang tersebut mulai merasa bimbang. Benar kan?”, ujar Mikki mengingat obrolan mereka dua hari yang lalu.
“Ya, lalu kenapa kau..”, untuk kedua kalinya Mei belum sempat menyelesaikan kalimatnya, karena lagi-lagi Mikki memotong pembicaraan.
Mikki yang memotong kalimat Mei berkata.
“Saat itu aku juga bimbang, tetapi semua menjadi jelas setelah membaca chat mu. Saat itu juga aku telah menetapkan keputusanku.”
“A-Apa maksudmu? Apa yang..”, Mei mencoba bebicara.
“Duh maaf, rasanya aku terlalu banyak bicara. Kalau nggak buru-buru bisa telat ini. Maaf Mei, aku harus pergi sekarang,”, Mikki menyudahi percakapan antara mereka berdua.
“Aku harap kau mau menerima pemberianku ini, satu untukmu, dan satu lainnya untuk Mimi. Sayang aku nggak bisa ngasih langsung ke Mimi, boleh kan kutitipkan ini untuknya?”
Dua buah jam liontin berwarna perak dengan hiasan permukaan berbentuk bintang, di dalamnya nampak tertera ketiga nama profil mereka. Mei, Mimi, dan Mikki.
“A-Apa ini Mikki?”, tanya Mei yang makin bingung.
“Sudahlah terima saja, itu tanda persahabatan kita.  Semoga kita bisa betemu kembali di ain waktu. Sampai jumpa Mei!”, Mikki mengucapkan selamat tinggal dan bergegas pergi meninggalkan Mei yang masih terdiam dalam kebingungan.
“Tu-Tunggu.. Mikki!”, panggil Mei sia-sia karena Mikki sudah tak nampak di hadapannya.
-oOo-
Sore hari yang cukup tenang setelah pagi tadi perasaan Mei kembali berputar tak menentu, Mei yang sedari tadi sudah siap di depan komputernya tengah browsingmencari informasi untuk menyelesaikan tugas sekolahnya esok hari.
Entah kenapa untuk pertama kalinya sepintas Mei memikirkan hal yang selama ini ia benci, AKB48. Mungkin apa yang dikatakan Mikki masih cukup membekas di dalam kepala Mei, ditinggalkan dalam kondisi kebingungan sangat tidak menyenangkan baginya. Karena itu, untuk pertama kalinya juga Mei mencari informasi tentang AKB48, termasuk kasus skandal Miichan yang sempat membuatnya sakit.
Betapa terkejutnya dia ketika sebuah link di forum mengantarkannya ke blog pribadi milik Minegishi Minami, Miichan atau orang yang entah sudah berapa kali membuatnya terluka. Rasa tidak percayanya makin menjadi ketika terdapat foto tiga buah jam liontin perak di laman blog itu. Jam liontin yang persis sama seperti yang diberikan Mikki untuknya
Di akhir kalimatnya terdapat kalimat yang benar-benar membuat Mei tidak percaya, sebuah kalimat yang seakan menjawab pertanyaannya pagi tadi.
“Keputusan untuk membuang rambutku, kebanggaanku sebagai seorang perempuan, dan tetap mempertahankan kebanggaanku sebagai seorang Idol! Karena kuyakin suatu saat, di jalan ini pula aku akan mendapatkan kembali apa yang kutinggalkan hari ini!”
“MI- MIICHAN!?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar