Home

Kamis, 11 April 2013

[FanFict] Piagam Juara


Kau yang terkunci dalam kenangan, sekarang bangkit kembali – Petikan lagu Kimi ni Au Tabi Koi o Suru’, JKT48. 
“Kamu Anand? Beneran?” Kata Dina dengan wajah tak percaya, jari telunjuk tangan kanannya menunjuk seorang pria di hadapannya.
Anand mengangguk. Anggukannya yang terlalu kuat membuat hidungnya yang cukup mancung tak sanggup menahan kacamatanya yang merosot ke bawah. Dalam hati, Anand mencoba berteriak, Iya! Aku Anand, teman satu kelasmu saat kita SMP dulu.
“Wah Nand! Aku nggak nyangka kamu se macho ini sekarang. Dulu pas SMP kan kamu culun banget. Selalu duduk paling depan, nggak gaul.” Kata Dina mengenang masa lalunya, tepat delapan tahun yang lalu saat dia masih duduk di bangku SMP.
Anand tak merespon.
“Dulu kacamatamu nggak sekeren ini. Kacamatamu dulu bulet, mirip kacamata yang dipake boboho. Film favoritmu yang ditulis di buku tahunan SMP. Hahahaha….” Dina tak bisa menahan tawanya yang lepas mengingat masa yang dianggap dia lucu ketika dia masih berumur belia. Anand hanya terdiam. Di balik diamnya, Anand juga mengingat masa-masa yang dikenang Dina. Masa-masa dia masih berbadan gembul, hingga teman-teman satu sekolahnya lebih banyak yang memanggilnya boboho ketimbang nama aselinya.
Lift sudah terhenti di lantai 31 sebuah gedung perkantoran di kawasan Jalan Sudirman Jakarta. Anand keluar dari lift itu. Kepalanya tak sempat menoleh ke Dina, yang sejak dari lantai 1 berdiri di belakangnya. Dia sedikit merasa menyesal ketika di lobby gedung tadi menyapa sosok yang sangat di kenalnya. “Kamu nggak berubah dari dulu. Ceplas-ceplos. Parfum kamu juga nggak berubah. Masih pake parfum bayi rasa jeruk, sama kayak kamu masih SMP. Itu yang bikin aku yakin kalo itu kamu tadi di lobby. “ Pikir Anand sambil berjalan keluar dari lift, lalu menuju ke dalam kantornya, sebuah perusahaan digital agency. Sebuah kantor yang terlihat sangat formal dari pintu luar, tetapi ketika masuk ke dalamnya, orang tidak akan mengira kalau itu adalah tempat bekerja. Pun ruang kerja Ananad. Lebih mirip kamar seorang mahasiswa ketimbang ruang kerja seorang manajer. Di ruangannya lebih banyak peralatan untuk bermain games dan peralatan fitnes, ketimbang berkas dokumen yang harus dibacanya. Ini kantor manajer kreatif! Bukan kantor seorang akuntan! Ujar Anand setiap ada yang terheran melihat kondisi ruangannya.
Anand terduduk di sofa kerjanya. Dihadapannya, sebuah acara televisi sedang menayangkan demo masak yang diperagakan oleh Chef Farah Quin. Namun Anand tak begitu memperdulikannya. Dibiarkan televisi tetap menyala, dan Chef Farah Quin tetap terlihat sedang mengiris-iris daging sapi.
Anand lebih mencoba untuk berkonsentarsi dengan pekerjaaannya. Dibacanya beberapa email yang masuk melalui Pocket Tablet pribadinya. Beberapa email berisi tentang pekerjaan, beberapa lagi berisi tentang berbagai penawaran bisnis. Email rutin yang sudah terbiasa dibacanya. Beberapa menit membaca email, konsentrasi Anand meredup. Tak sengaja jarinya menyentuh tombol Home dari Pocket Pcnya. Dahi Anand mengkerut. Sebuah foto saat dia masih SMP yang menjadi background di gadgetnya itu kembali mengingatkannya pada sosok yang tak sengaja ditemuinya tadi di lift gedung. Di layar televisi, Farah Quin kini sudah usai mengiris daging sapi. Jemarinya yang terlihat lembut dari layar kaca kini melumuri daging yang diiris olehnya dengan cairan berwarna putih, mirip mayonaise.
Nggak ada yang berubah dari foto ini sama wajah kamu tadi. Lesung pipi kamu masih sedalam dulu. Behel warna pink yang kamu pakai juga sejenis dengan behel yang kulihat saat kau tersenyum di dalam lift tadi.” Anand berbicara pada foto di layar gadgetnya, foto yang menggambarkan seorang anak perempuan dengan seragam SMP yang sedang mengangkat piala, namun pemandangan foto dirusak oleh penampakan sesosok anak berbadan gembul dengan kacamata bulat yang mengintip dari belakang. Foto yang membuat Dina waktu itu marah berhari-hari pada Anand, sampai akhirnya Dina bisa kembali tersenyum saat Anand akhirnya menyogoknya dengan contekan saat Ujian Nasional.
“Ah…bodoh. Kenapa aku justru diam di kesempatan yang nggak bakal aku temui lagi seumur hidupku?” Cerocos Anand menganggap saat itu dirinya adalah orang paling bodoh sedunia. Dia merasa program dietnya saat lulus SMP hingga kuliah seketika sirna ketika bibirnya kaku di hadapan Dina di pertemuan yang tak terduga. Padahal, maksud dari diet yang dilakukannya adalah ingin mendapatkan hati Dina.
Anand kembali menatap foto yang ada di layar gadgetnya. Namun tak lama, dia mengunci kembali gadget kerjanya, lalu memasukannya ke dalam saku di kemejanya. “Kamu masa lalu yang selalu terkunci di dalam benakku” Pikir Anand, dan kini di layar TV, Farah Quin sudah mulai memasak irisan daging. Di bagian bawah layar televisi, tertulis nama menu masakan dalam bahasa asing. Anand masih belum begitu peduli dengan apa yang dilakukan farah quin di layar televisi.
Jam sudah menunjukkan pukul Sembilan Pagi. Dari ruang kantornya, Anand bisa melihat dengan jelas jalur sepanjang jalan jenderal sudirman. Mobil sudah mulai merayap. Di sebelah kanan, Anand bisa melihat bundaran hotel indonesia. Air mancur bundaran HI sudah mulai mengalir. Menari-nari. Seperti sedang berpesta. Anand berpikir, tarian itu untuk merayakan kebodohannya. Kebodohan melewatkan kesempatan yang belum tentu akan datang dua kali.
Belum sempat Anand melamun, seorang karyawati dari luar masuk ke dalam ruangannya. Ruangan kantor anand yang terpisah dengan ruangan staff di kantornya memang sengaja membiarkan pintu terbuka lebar. Budaya di kantornya mencoba untuk memberikan keterbukaan bagi siapa saja. Termasuk bagi staff yang akan menuju ruang manajer. Dia tak perlu mengetuk pintu, kecuali jika sedang ada tamu penting.
“Maaf pak Anand.” Sapa seorang staf yang baru masuk ke ruangan anand.
Anand berbalik dari jendela kantornya ke arah stafnya yang baru masuk. “Kenapa Nin?”
“Kandidat asisten manajer untuk bapak sudah hadir. Tinggal diadakan wawancara dengan bapak.” Ucap staf anand.
“Dari hasil wawancara departemen kamu, gimana hasilnya?” Tanya Anand dengan wajah santai, namun tetap serius.
“Semuanya sesuai dengan kriteria dan standar perusahaan kita. Secara umum, dia qualified. Pengalamannya pun cukup menjanjikan.” Ucap Ninda, dengan gaya santainya, namun tampak serius menjawab pertanyaan anand.
“Terus sekarang orangnya mana? Boleh dibawa ke ruangan saya.” Ucap Anand sambil menuju ke sofa yang tadi didudukinya. Di hadapannya, kini Farah Quin sudah selesai memasak daging, dan kini dia sedang menyajikan masakannya. Sepintas, Anand memperhatikan layar televisi, sambil menunggu stafnya yang bernama Ninda kembali dan membawa calon asisten manajer yang dimintanya. Anand menatap layar televisi. Farah Quin menyajikan masakan dagingnya dalam sebuah piring lebar, dan membentuk masakannya menyerupai hati.
Nindya kembali masuk ke ruangan Anand. Melihat staffnya kembali dengan sesosok perempuan di belakangnya, Anand meraih remot televisi di sampingnya. Dimatikannya televisi yang sedang menampilkan Farah Quin sedang memamerkan masakan yang baru dibuatnya.
Anand masih belum sadar sosok yang baru saja dibawa staffnya. Sosok perempuan yang sudah mulai terkaku melihat calon atasannya sedang duduk santai di ruangannya, menanti sesi wawancara dengannya yang akan menentukan apakah dia dapat bekerja di perusahaan ini atau tidak.
“Pak, ini Mbak Dina, kandidat asisten manajer yang akan kita wawancara.” Ucap Nindya begitu berdiri di dekat Anand.
Wajah Anand yang tadinya santai berubah menjadi tampak abstrak. Dahinya mengerut. Matanya mengernyit. Kacamatanya kembali merosot ke bawah. Bukan karena dia mengangguk terlalu kuat. Entah mengapa. Kini Anand merasa kacamatanya terlalu berat di hidungnya. Dilepasnya kacamata bermerek yang ia kenakan. Diusapnya mata Anand dengan lengan kirinya. Mencoba merubah ekspresi seprofesional mungkin.
Anand berdiri, bersandiwara menyembunyikan perasaan kalut di hatinya. Mencoba seprofesional mungkin menghadapi sosok yang baru saja dikenalkan oleh Staffnya. Anand menjulurkan tangan kanannya, menginisiasi untuk menyalami Dina.
“Anand…” Ucap Anand sambil menatap Dina. Dalam hati, anand kembali berteriak, “Kenapa harus kamu…
“Dina..” Ucap Dina membalas perkenalan sekedar formalitas profesional. Dalam benaknya, Dina berpikir mungkin Anand sedang menjaga profesionalitas sebagai manajer di hadapan staffnya, juga seorang calon karyawan yang di dalam lift memberikan candaan yang bisa merusak kariernya.
Hampir lima detik terjadi keheningan. Mungkin jika layar televisi masih menyala, Farah Quin sedang tersenyum melihat menu masakannya sudah jadi. Daging berbentuk Cinta, ala Jepang.
“Oh iya, silakan duduk.” Anand menyilakan dua orang di hadapannya duduk di dua sofa berbeda. Nindya duduk di sofa bersebelahan dengan Anand, dan Dina duduk sedikit menyerong ke arah kiri Anand.
Hampir satu jam Wawancara berlangsung, kaku, hambar, namun tetap diselingi candaan-candaan ringan seputar pekerjaan. Anand menyadari, wawancara yang dilakukannya hanya sekedar formalitas. Lebih dari itu, anand sedang memikirkan dua hal yang sedang beradu di benaknya. Diterima, dan itu berarti akan ada skandal asmara yang akan mengganggu pekerjaannya, atau ditolak dan itu berarti pasti akan membuat Dina kecewa.
***
Dina terduduk di ruang santai yang disediakan oleh perusahaan bagi karyawan di kantor Anand. Dirinya menatap luas melihat sekeliling kantor. Berbagai alat hiburan, televisi layar lebar, bermacam buku literatur lengkap ada di sana. Dia mencoba membandingkan ruangan tempatnya duduk dengan kantornya sekarang. Jauh berbeda, karena kantor tempatnya sekarang terkesan kaku seperti kantor-kantor pada umumnya.
Coba aku bisa diterima kerja di sini. Tapi……” Belum usai Dina berujar, Nindya terlihat keluar dari ruangan Anand dan menghampirinya.
“Mbak Dina, maaf nunggu lama.” Nindya berbasa basi.
Dina beranjak dari duduknya, dan menyoba memberikan senyum simpul dari bibirnya. Di ruangan Anand, Anand terlihat mengintip Dina yang sedang tersenyum menyambut Nindya. “Aih…lesung pipimu benar nggak pernah berubah.
***
Dina kelur dari Lift lantai 1, menuju lobby gedung tempat dimana kantor yang baru mewawancarainya berada. Dicabutnya kartu pengunjung yang tertempel di saku kemejanya, lalu dikembalikan ke resepsionis. Wajahnya terlihat sangat lesu. Masih terngiang ucapan Nindya, orang yang dari awal mengundangnya untuk wawancara awal hingga akhirnya wawancara manajer. Sebuah penolakan halus, yang memang menjadi resiko bagi seorang pelamar pekerjaan.
“Maaf mbak Dina. Secara pribadi, saya sangat menginginkan mbak untuk dapat bergabung bersama tim di perusahaan ini. Namun secara kualifikasi, manajer perusahaan yang akan menempatkan Mbak Dina masih merasa belum sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan.” Ucapan Nindya yang terngiang di benak Dina.
Sepanjang kaki Dina melangkah dari resepsionis menuju basemen gedung tempat mobilnya terparkir, Dina hanya terbayang penolakan perusahaan. Banyak spekulasi. Apa benar kualifikasinya yang tidak sesuai, atau karena ucapannya yang telah membuat kecewa manajer yang mewawancarainya. Atau Anand tersinggung dengan candaannya di Lift tadi pagi.
Berbagai momen sepanjang wawancara masih sangat terngiang di benak Dina. Sampai akhirnya, hembusan angin kencang menabraknya, hingga sebuah berkas amplop yang dipegangnya hampir lepas dari pegangannya.
Dina hampir terlupa dengan amplop cokelat seukuran folio yang dipegangnya. Amplop yang kata Nindya adalah amplop “ucapan terima kasih.”. Nindya tidak mengatakan lebih dari itu.
Sesampainya di dalam mobil, Nindya mencoba menghempaskan badannya di kursi mobil. Selama satu jam dia sudah mengerahkan pikirannya untuk menjawab berbagai pertanyaan wawancara. Namun belum berhasil. Rasa penasaran kini mengalihkan pikiran kecewanya. Diraihnya amplop cokelat yang sempat diletakkan di dashboard mobil. Dibukanya dengan lembut.
Hanya ada tiga  lembar kertas. Namun beberapa lembar kertas itu membuat Dina tersenyum, simpul.
Lembar pertama yang dilihatnya adalah sebuah piagam lusuh. Piagam delapan tahun lalu yang sudah dilupakannya. Dia teringat, piagam itu didapatkannya ketika mengikuti lomba cerdas cermat bersama Anand. Beberapa hari setelah perlombaan, Anand dan Dina terlibat pertengkaran karena pose foto dina yang dirusak oleh penampakan anand. Sampai lulus SMP, dina sudah melupakan piagam yang telah diraihnya saat menjuarai lomba cerdas cermat.
Lembar kedua yang dilihat Dina adalah fotonya yang sedang memegang piala, namun dirusak oleh penampakan pria gembul di belakangnya. Foto yang membuatnya bertengkar dengan pria gembul itu.
Lembar ketiga, Dina membaca sebuah tulisan yang dibuat oleh seorang pria yang baru saja mewawancarainya,
Dina, maaf. Jujur, kamu adalah sosok asisten manajer yang sangat diinginkan oleh perusaaan ini. Namun, aku yakin kamu juga sadar, bahwa jika kita bekerja bersama, profesionalitas kita berdua akan dipertaruhkan.
Aku hanya ingin, kita tetap menjalin sahabat yang sempat sirna delapan tahun ini.

Temanmu, Boboho.

Di bagian bawah surat, Dina melihat sebuah nomor ponsel yang sengaja ditulis oleh Anand. Dina kembali tersenyum simpul. Ditulisnya beberapa kata, lalu dikirimkannya beberapa kata itu melalui sms ke nomor yang tertera di surat itu.
***
Dari lantai 31, Anand kembali menatap jalur jalan jenderal sudirman dari ruangannya. Sudah limabelas menit dia berdiri. Memikirkan apa yang telah terjadi sedari pagi hingga siang ini di kantornya. Lamunannya terpecah ketika ponselnya bergetar, dan sebuah sms masuk.
“Dasar! Kamu nggak berubah. Tetep aja mirip boboho. Usil. J “
Anand tersenyum. Ditatap kembali tulisan sms yang baru masuk ke dalam ponselnya. Nomor yang belum pernah disimpan, lalu disimpannya nomor itu dengan nama Dina.
Benak Anand kembali menerawang,”Ini reuni yang tak terduga. Aku yakin reuni ini akan berakhir manis. Nanti”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar